Kriteria Sahabat
Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Atsqalani mendefinisikan, “Sahabat adalah orang yang
bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu
’alaihi wa sallam, ia beriman pada ajaran Islam dan meninggal dalam
keislamannya.” Dari pengertian ini, maka orang yang tidak sempat bertemu Rasulullah
walaupun beriman, ia tidak termasuk sahabat,
seperti Abu Muslim Al-Khulaini, Uwais Al-Qorni, atau Raja Najasyi. Dan juga
tidak disebut sahabat orang yang tidak beriman walaupun setiap hari bertemu
Rasulullah, seperti orang-orang munafik, atau orang yang sangat dekat dengan
Rasulullah, seperti Abu Thalib, Abu Jahal, dan Abu Lahab.
Secara umum, sahabat dibagi
menjadi dua tingkatan, yaitu orang yang sudah menjadi sahabat sebelum Futuh
Mekkah (penaklukan kota Mekkah) dan orang yang menjadi
sahabat setelah Futuh Mekkah. Allah berfirman, “Tidak sama di antara kamu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah
menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.” (Q.S. Al-Hadid: 10).
Walaupun ayat ini
menjelaskan perbedaan derajat sahabat terdahulu dan sahabat yang terkemudian,
tapi kedua-duanya dijanjikan oleh Allah mendapatkan balasan yang lebih baik.
Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Hazm menafsirkan kalimat, “yang lebih baik”
dalam ayat di atas itu adalah surga. Dengan
demikian, para sahabat semuanya adalah ahli surga.
Al-Quran dan As-Sunnah Memuliakan Sahabat
Al-Quran dan As-Sunnah telah
menjelaskan keshalehan dan kesetiaan mereka terhadap Islam. Allah memberikan
penghargaan yang begitu istimewa terhadap mereka, penghargaan yang tidak
diberikan pada generasi-generasi berikutnya. Allah berfirman,
وَالسَّابِقُوْنَ
الأَوَّلُوْنَ مِنَ المُهَاجِرِيْنَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُهُمْ
بِاِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَ أَعَدَ لَهُمْ جَنّتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَاالأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذَالِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيْمِ
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama (masuk Islam) di antara mereka
orang-orang muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah: 100).
Di tempat yang lain Allah
berfirman, “Sesungguhnya Allah telah
ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia di bawah pohon,
maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan
atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” (Q.S. Al-Fath: 18).
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam memperkuat keagungan sahabat dalam sabdanya,
خَيْرُ النَّاسِ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ (رواه
البخارى ومسلم)
“Sebaik-baik
manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi
sesudahnya.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Sikap Kita Terhadap Sahabat
Teranglah sudah, kewajiban
kita hari ini adalah meluruskan pemahaman yang bengkok dan keliru berkenaan
dengan sikap umat Islam terhadap para sahabat Rasulullah. Sebab betapa
lancangnya kita ini, berani mencela orang-orang yang dicintai Allah dan
rasul-Nya hanya gara-gara mereka dianggap salah menurut persangkaan saja,
padahal bila dibandingkan, amalan kita hari ini dengan yang telah dilakukan
oleh mereka, baik akidahnya, amalan ibadahnya, atau akhlaknya, maka amal shaleh
kita belum seberapa, tidak sepadan dan tak mungkin mengunggulinya.
Kaum muslimin harus
mengikuti petunjuk Allah dan rasul-Nya, mereka harus mencintai para sahabat sebagaimana
kecintaan Allah dan rasul-Nya kepada mereka. Kita tidak boleh menyebut mereka
kecuali kebaikannya, namun tidak boleh ghuluw (berlebih-lebihan)
sebagaimana yang dilakukan orang Syiah Rafidhah pada Imam Ali bin Abi Thalib.
Imam Ath-Thahawi mengatakan,
”Mencintai mereka merupakan amalan Dien dan membenci mereka adalah
kekufuran dan kemunafikan, karena yang pertama kali mencela para sahabat adalah
orang-orang kafir dan kaum munafik”.
Rasulullah melarang kita untuk mencela para
sahabat dalam beberapa sabdanya,
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِي فَإِنْ أَحَدُكُمْ لَوْ أَنْفَقَ
مِثْلَ أَحَدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَاكَ مُدَّ أَحَدُهُمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه
البخارى)
”Janganlah kalian mencela sahabatku. Jika
salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud pastilah
tidak bisa menyamai segenggam infak mereka, tidak pula setengahnya.” (H.R.
Bukhari Muslim).
اِذَارَأَيْتُمُ
النَّاسَ يَسُبُّوْنَ أَصْحَابِى فَقُوْلُوْا لَعْنَةُ اللهِ عَلَى شَرِّكُمْ
(رواه الترمذى)
“Apabila kamu melihat ada orang yang
mencaci sahabat-sahabatku, maka doakanlah: ‘Laknat Allah atas kejahatan
kalian’.” (H.R. At-Tirmidzi).
Ibnu Mas’ud menceritakan kepribadian para
sahabat, “Sesungguhnya Allah meneliti
hati para hamba-Nya, maka didapati bahwa hati Muhammad adalah sebaik-baiknya
hati para hamba-Nya. Maka Allah pun memilihnya dan mengangkatnya menjadi
rasul-Nya. Setelah itu, Allah meneliti lagi hati para hamba-Nya, didapati bahwa
hati para sahabat adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya. Maka Allah pun menjadikan mereka para pendamping nabi-Nya dan berperang
demi agama-Nya. Siapa saja yang dilihat baik oleh kaum muslimin, maka ia baik
menurut Allah. Barangsiapa yang dilihat buruk oleh kaum muslimin, maka menurut
Allah juga buruk.”
Secara lebih terperinci, Abu
Bakar Jabir Al-Jazairi, dalam kitab Minhajul Muslim menyebutkan enam sikap yang
seharusnya dilakukan kaum beriman pada para sahabat, yaitu:
1. Mencintai mereka, karena kecintaan Allah dan kecintaan rasul-Nya kepada
mereka.
2. Beriman kepada keutamaan mereka atas kaum mukminin, dan kaum muslimin yang
lain.
3. Berpendapat bahwa Abu Bakar adalah sahabat Rasulullah yang paling mulia
dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya, kemudian disusul Umar bin Khathab,
lalu Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib.
4.
Mengakui kelebihan-kelebihan para sahabat dan kebaikan-kebaikan mereka.
Banyak sekali hadits-hadits nabi yang menyebutkan keutamaan-keutamaan para
sahabat, baik secara kolektif maupun personal.
5. Menahan diri dari mengungkapkan keburukan mereka dan tidak berkomentar
tentang persengketaan yang terjadi pada diri mereka. "Janganlah kalian menjadikan mereka (para sahabat) sebagai bahan
tuduhan sepeninggalku."(H.R. At-Tirmidzi).
6. Beriman kepada kehormatan istri-istri Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam, bahwa mereka
wanita-wantia suci bersih, mencari keridhaan mereka, dan berpendapat bahwa
istri-istri beliau yang termulia ialah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah
binti Abu Bakar.
Jadi, mencintai mereka merupakan amalan yang cintai Allah dan rasul-Nya. Sedangkan membenci mereka adalah
kekufuran dan kemunafikan. Tidak ada orang yang pertama kali mencela
para sahabat kecuali orang-orang kafir dan kaum
munafik. Wallahul Muwaffiq.
Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1. Direktur UPU
2. Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3. Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah
Casino Player Reviews: Top Sites, Bonus Codes for December
BalasHapusFind the 대구광역 출장샵 best Casino Player Reviews in December 2021 and get your bonus now! JOIN US to get 화성 출장안마 25 Free Spins 동해 출장샵 at 원주 출장안마 most 경상북도 출장안마 casino sites.