Sabtu, 31 Desember 2016

Benang Kusut Pendidikan

"Tarbiyah (pendidikan) bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya tidak akan tercapai kecuali dengan tarbiyah."

Kalimat di atas disampaikan oleh Dr. Musthafa Manshur, aktivis Ikhwanul Muslimin, dalam menjawab berbagai macam kritikan terhadap konsep tarbiyah yang disosialisasikan jamaahnya.
Setiap orang tentu menyadari, bahwa pendidikan memiliki sumbangsih yang sangat besar dalam membentuk pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan perilaku (psikomotorok) manusia. Seseorang yang berpredikat well education, biasanya lebih diutamakan untuk menempati posisi-posisi strategis daripada orang dengan berpendidikan rendah, baik di lingkungan kecil seperti di kampung dan di desa, atau pun di lingkungan yang lebih luas seperti pengelolaan perusahaan dan negara. Kualitas sumber daya manusia hari ini merupakan produk pendidikan masa lalu. Kualitas SDM masa depan sangat ditentukan oleh mutu pendidikan hari ini.
Menyadari urgensi pendidikan di atas, banyak orangtua yang sibuk aktif membantu anaknya mencari lembaga pendidikan yang dianggap ideal yang akan mampu mengantarkan anak-anak mereka meraih cita-cita. Tentu tindakan seperti itu tidak salah, justru baik sebagai rasa tanggung jawab orangtua terhadap masa depan si anak, namun kekeliruan orangtua mulai tampak tatkala menentukan kriteria sekolah ideal. Seringkali orangtua terlalu percaya dan bangga pada sebuah lembaga pendidikan hanya karena banyak muncul anak-anak brilliant, terampil, mudah mendapatkan pekerjaan, atau mungkin tak sedikit yang jadi pejabat, tetapi mengabaikan sisi-sisi yang lebih utama yaitu keshalehan yang mewujud dalam akidah yang kuat, akhlak yang islami dan pemahaman yang lurus.
Kecenderungan pengabaian terhadap aspek agama ini sering kita jumpai pada sebagian orangtua yang memang tidak mempunyai akar yang kuat dalam beragama. Perhatiannya lebih tertuju pada keberhasilan sang anak bersaing di dunia dengan mendapatkan pekerjaan basah, gaji besar, dan tingkat sosial yang tinggi. Adapun si anak tidak shalat dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban selaku muslim, itu perkara lain yang tak terlalu dirisaukannya.

Pendidikan Hari Ini
Konsep pendidikan yang diterapkan di berbagai negara umumnya memisahkan dan memilah-milah antara pengetahuan umum dengan agama yang dikenal dengan sebutan pendidikan sekuler. Dalam sistem pendidikan seperti ini pengetahuan umum dan agama merupakan dua kutub yang saling berlawanan dan tak mungkin disatukan. Oleh karena itu, fenomena alam yang begitu kompleks setelah melalui berbagai macam pengamatan, penelitian, dan eksperimen yang akhirnya melahirkan disiplin ilmu seperi IPA (Biologi, Fisika, Kimia) dan IPS (Antropologi, Sosiologi) yang semestinya menjadi lahan yang sangat subur untuk menanamkan tauhid, tawadhu (merasa lemah) di hadapan kebesaran Allah serta takjub menyaksikan keteraturan dan keindahan ciptaan-Nya, namun justru melahirkan sosok-sosok anti tauhid, manusia sombong serta lalai bahkan berpaling dari kebenaran. Astagfirullahal 'adhim.
Kondisi sekulerisasi pendidikan ini memang tidak ujug-ujug ada, tapi ada sejarah yang amat panjang yang melatarbelakanginya. Saat itu Eropa dilanda kegelapan (the dark middle age), sementara gereja sangat diktator. Setiap hasil penelitian para ilmuwan yang bertentangan dengan ajaran gereja akan dianggap keliru dan si ilmuwan akan dijebloskan ke dalam jeruji besi atau dieksekusi sebagaimana pernah terjadi pada Galilea Galileo.
Dari sini muncullah perlawanan hebat terhadap gereja yang dipelopori Marthin Luther untuk mendobrak kesewenang-wenangan gereja. Akhirnya kaum intelek memenangkan pertarungan, gereja tersisihkan, agama tidak boleh mengatur dunia, ilmu dan negara. Agama cukup dijadikan sebagai pagar etika yang mengajarkan keadilan, kejujuran, kedermawanan, dan yang semisalnya.
Maka tak heran bila di jaman ini ada siswi muslimah yang dipaksa melepas jilbab atas nama pendidikan seperti yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan umum di beberapa tempat. Ya, karena mereka menganut faham sekulerisme.

Mencari Pendidikan Alternatif
Tidak ada yang bisa diharapkan oleh orangtua muslim dari pendidikan sekuler yang semrawut seperti ini. Mungkinkah kita dapat mewujudkan perintah Allah untuk memiliki anak-anak shaleh di lingkungan sekolah seperti ini? alih-alih membentuk manusia bertakwa, justru yang terjadi adalah mencopot ketakwaan.
Penulis pernah mempunyai beberapa teman ikhwan dan akhwat satu kelas. Mereka  dikenal sebagai anak yang pemalu, rajin shalat, tak pernah melewatkan qira'atul quran, yang akwatnya tak pernah lepas dengan jilbab. Setelah masuk sekolah menengah umum yang katanya favorit, semuanya berubah, mereka secara terang-terangan berani bermaksiat, tak menyukai shalat lagi, sudah melupakan Al-Quran, dan si akhwatnya tak mau berjilbab lagi. Gaya hidupnya pun begitu fungky, bacaan kegemarannya hanyalah komik-komik dan novel terbaru.
Hanya sedikit yang selamat, kebanyakannya tak mampu melawan arus yang terlalu kuat dan dahsyat. Tentunya, orangtua muslim menginginkan anaknya tetap istiqamah (berpegang teguh) menjalankan konsep Islam dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana orangtua sanggup menjelaskan kepada Allah di akhirat kelak perihal kenakalan anak-anaknya? Atau ketidakpeduliannya terhadap norma-norma agama? Padahal Allah menciptakan anak itu awalnya dalam keadaan Islam (fitrah). Rasul bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ (البخارى)
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Al-Bukhari).
Dengan demikian, sebagai bentuk rasa tanggung jawab dan kasih sayang orangtua terhadap anak-anaknya, janganlah orangtua hanya menyekolahkan saja, tetapi harus mencari sekolah yang lingkungan pergaulannya baik, guru-gurunya shaleh dan disiplin, teman-temannya berakhlak mulia, kurikulumnya jelas memihak kepada Islam. Jika tidak, bisa jadi anak menjadi fitnah dan musuh terbesar bagi orangtua di dunia dan di akhirat.
Sebagai panduan, kiranya orangtua perlu mencermati hal berikut sebelum memasukkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan,
  1. 1.  Pertimbangkan terlebih dahulu, apakah anak Anda akan sekolah di pendidikan umum (negeri maupun swasta) ataukah pondok pesantren. Masing-masing lembaga pendidikan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan.
  2. 2.  Setelah Anda memutuskan untuk memilih, carilah keterangan selengkapnya tentang lembaga pendidikan tersebut. Bisa melalui brosur-brosur, orang-orang yang telah menyekolahkan anak-anaknya di tempat itu atau sumber informasi lainnya.
  3. 3. Perhatikan dana yang harus Anda keluarkan. Sesuaikah biayanya dengan anggaran yang telah kita siapkan? Bila biayanya terlalu besar, sebaiknya mencari sekolah yang pas dengan kemampuan kita.
  4. 4. Jangan cepat-cepat memutuskan pilihan pada sekolah yang berlabel Islam. Teliti terlebih dahulu bagaimana kualitas pendidikan yang diberikan. Baik masalah kurikulum ataupun kedisiplinan gurunya.
  5. 5. Pastikan sekolah yang Anda pilih bukan sekolah non-Islam. Meskipun dari luarnya sama dengan lembaga pendidikan lainnya, namun sebenarnya mengandung misi merusak generasi Islam.
Silahkan renungkan firman Allah Azza wa Jalla berikut ini,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6).


Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1.     Direktur UPU
2.    Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3.    Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah

0 komentar:

Posting Komentar