Sabtu, 31 Desember 2016

Jika Ingin Anakmu Shaleh

Butuh Ilmu dan Keteladanan
      Sebagian kaum muslimin ada yang sudah siap menjadi orangtua jauh-jauh hari sebelum menikah atau memiliki anak. Mereka tak letih belajar, belajar, dan belajar, baik melalui taklim, pengajian, melalui buku, bertanya, dan sarana-sarana lainnya. Ketika dikarunia anak, maka ia telah siap memaksimalkan usaha untuk memiliki anak yang shaleh. Namun sebagian kaum muslimin, ada yang tidak siap menjadi orangtua yang baik bagi buah hatinya. Mereka menjadi orangtua karena tuntutan usia saja. Awalnya ia anak-anak, lalu menjadi remaja, kemudian muda, menikahlah ia, kemudian dikaruniai anak tanpa persiapan ilmu yang memadai. Mereka malas belajar tentang trik dan cara mendidik anak, buta tentang pola pendidikan ala Nabi Muhammad.
Akhirnya, si anak mendapatkan pendidikan seketemunya dari orangtua. Memang sang bapak dan ibu sangat berharap anaknya menjadi anak yang shaleh, tapi si anak tidak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dari ayah dan ibunya. Jadinya, seperti pungguk merindukan bulan, jauh panggang dari api. Ada kesenjangan antara harapan dan realita.
Contoh lain, orangtua berharap anaknya rajin shalat. Tapi orangtuanya tidak pernah berdoa kepada Allah, “Ya Allah berilah aku buah hati yang ahli sujud.” Malah dulu waktu berhubungan suami istri tidak berdoa terlebih dahulu karena memang tidak hapal doanya. Setelah si anak agak besar tidak dididik cara shalat yang benar, tidak dititipkan ke lembaga keagamaan. Pokoknya si anak dibiarkan begitu saja tanpa pengajaran. Mungkinkah orangtua tersebut akan mendapati si anak sesuai harapannya, yaitu rajin shalat. Sungguh sulit untuk diwujudkan.
Satu contoh lagi, orangtua berharap si anak menjadi orang yang dermawan. Tapi orangtuanya tidak menjadi uswah hasanah bagi anaknya. Si anak sangat jarang melihat ayah ibunya membantu saudara dan tetangganya. Si anak pun tidak dikenalkan dengan sosok Nabi Muhammad yang sangat pemurah. Si anak tidak diajari tentang untungnya menjadi manusia dermawan.

Butuh Sekolah yang Baik
Di Indonesia ini lembaga pendidikan terdiri dari dua, lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan Islam. Misal di level SD, maka ada SD Umum dan SD Islam. SD Umum terdiri dari SD Negeri dan SD Swasta. Bedanya, di SD Negeri atau SD Swasta umum itu porsi pendidikan agama hanya 3 jam per pekan. Itu pun hanya pengetahuan kognitif. Biasanya di SD Negeri juga amalan keagamaan diserahkan ke masing-masing individu. Misal pas waktu dhuhur, tidak ada bimbingan dan instruksi pada seluruh anak untuk shalat dhuhur baik secara munfarid maupun berjamaah. Pokoknya tugas guru terbatas mengajar di kelas. Sangat mungkin ada juga guru di SD Umum yang menyuruh anak didiknya shalat dhuhur, tapi itu sifatnya arahan personal bukan kelembagaan sekolah secara resmi.
Nah, menyaksikan hal ini, terus terang saya prihatin dengan dunia pendidikan di Indonesia yang seperti ini. Mengapa? karena kalau membaca tujuan pendidikan nasionalnya sudah bagus, yaitu di antaranya menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa. Mungkinkah si peserta didik bisa beriman dan bertakwa di lingkungan sekolah yang sistemnya tidak menyokong seperti ini? Anak itu kan belajar dari melihat sekelilingnya. Selama enam tahun di SD, anak kita melihat guru yang menerangkan di kelas sambil merokok, minum dan makan menggunakan tangan kiri sambil berdiri, bapak dan ibu guru yang bukan muhrim berboncengan kalau naik kendaraan. Wah sangat berat mewujudkan siswa yang bertakwa. Mohon maaf, saya menyaksikan sendiri ada ibu guru yang merokok. Shalat dhuhurnya dibekel ke rumah jam dua siang. Akan tegakah kita menitipkan anak pada pengajar seperti itu?
Kini banyak bermunculan lembaga pendidikan Islam, misal di level SD ada SD Islam. Namanya bisa berbeda-beda; SD Islam atau SD Plus atau SDIT. Kehadiran SD-SD tersebut seperti mengindikasikan dua hal. Pertama, sebagai kritik terhadap SD umum yang terkesan seadanya. Yang penting belajar, tidak lebih dari itu. Kedua, idealitas agar anak muslim mendapatkan pendidikan agama dan umum berkualitas.
Terus terang, saya sangat bergembira dengan bermunculannya lembaga pendidikan Islam pada jenjang sekolah dasar atau SD. Orangtua bisa mempercayakan pendidikan putra-putrinya pada sekolah yang islami. Di SD Islam, anak-anak diajarkan akidah yang lurus, ibadah yang benar, dan akhlak yang terpuji. Di samping itu, prestasi siswa di bidang pengetahuan umum pun bisa bagus karena dibimbing oleh guru yang amanah dan profesional.
Ya paling pesan saya, antara satu lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan Islam lain jangan dirasakan sebagai musuh dan kompetitor yang membahayakan, tapi lebih pada mitra. Ketika animo masyarakat sangat besar menyekolahkan ke lembaga Islam, kan belum tentu bisa ditampung di satu lembaga. Jadi, beruntung ada lembaga pendidikan Islam yang lain yang sama-sama mendidik generasi muslim dengan pendidikan yang sama baiknya.[]


Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1.     Direktur UPU
2.    Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3.    Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah

0 komentar:

Posting Komentar