Sebagian kaum muslimin ada yang sudah siap menjadi orangtua
jauh-jauh hari sebelum menikah atau memiliki anak. Mereka tak letih belajar,
belajar, dan belajar, baik melalui taklim, pengajian, melalui buku, bertanya,
dan sarana-sarana lainnya. Ketika dikarunia anak, maka ia telah siap
memaksimalkan usaha untuk memiliki anak yang shaleh. Namun sebagian kaum
muslimin, ada yang tidak siap menjadi orangtua yang baik bagi buah hatinya.
Mereka menjadi orangtua karena tuntutan usia saja. Awalnya ia anak-anak, lalu
menjadi remaja, kemudian muda, menikahlah ia, kemudian dikaruniai anak tanpa
persiapan ilmu yang memadai. Mereka malas belajar tentang trik dan cara
mendidik anak, buta tentang pola pendidikan ala Nabi Muhammad.
Akhirnya, si anak mendapatkan pendidikan
seketemunya dari orangtua. Memang sang bapak dan ibu sangat berharap anaknya
menjadi anak yang shaleh, tapi si anak tidak mendapatkan pendidikan yang
berkualitas dari ayah dan ibunya. Jadinya, seperti pungguk merindukan bulan,
jauh panggang dari api. Ada kesenjangan antara harapan dan realita.
Contoh lain, orangtua berharap anaknya rajin
shalat. Tapi orangtuanya tidak pernah berdoa kepada Allah, “Ya Allah berilah
aku buah hati yang ahli sujud.” Malah
dulu waktu berhubungan suami istri tidak berdoa terlebih dahulu karena memang
tidak hapal doanya. Setelah si anak agak besar tidak dididik cara shalat yang
benar, tidak dititipkan ke lembaga keagamaan. Pokoknya si anak dibiarkan begitu
saja tanpa pengajaran. Mungkinkah orangtua tersebut akan mendapati si anak sesuai
harapannya, yaitu rajin shalat. Sungguh sulit untuk diwujudkan.
Satu contoh lagi, orangtua berharap si anak
menjadi orang yang dermawan. Tapi orangtuanya tidak menjadi uswah hasanah bagi anaknya. Si anak sangat jarang
melihat ayah ibunya membantu saudara dan tetangganya. Si anak pun tidak
dikenalkan dengan sosok Nabi Muhammad yang sangat pemurah. Si anak tidak
diajari tentang untungnya menjadi manusia dermawan.
Butuh Sekolah yang Baik
Di Indonesia ini lembaga pendidikan terdiri
dari dua, lembaga pendidikan umum dan lembaga pendidikan Islam. Misal di level
SD, maka ada SD Umum dan SD Islam. SD Umum terdiri dari SD Negeri dan SD
Swasta. Bedanya, di SD Negeri atau SD Swasta umum itu porsi pendidikan agama
hanya 3 jam per pekan. Itu pun hanya pengetahuan kognitif. Biasanya di SD
Negeri juga amalan keagamaan diserahkan ke masing-masing individu. Misal pas
waktu dhuhur, tidak ada bimbingan dan instruksi pada seluruh anak untuk shalat
dhuhur baik secara munfarid maupun berjamaah. Pokoknya tugas guru terbatas mengajar
di kelas. Sangat mungkin ada juga guru di SD Umum yang menyuruh anak didiknya
shalat dhuhur, tapi itu sifatnya arahan personal bukan kelembagaan sekolah
secara resmi.
Nah, menyaksikan hal ini, terus
terang saya prihatin dengan dunia pendidikan di Indonesia yang seperti ini.
Mengapa? karena kalau membaca tujuan pendidikan nasionalnya sudah bagus, yaitu
di antaranya menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa. Mungkinkah si
peserta didik bisa beriman dan bertakwa di lingkungan sekolah yang sistemnya
tidak menyokong seperti ini? Anak itu kan belajar dari melihat sekelilingnya.
Selama enam tahun di SD, anak kita melihat guru yang menerangkan di kelas
sambil merokok, minum dan makan menggunakan tangan kiri sambil berdiri, bapak
dan ibu guru yang bukan muhrim berboncengan kalau naik kendaraan. Wah sangat berat mewujudkan siswa yang
bertakwa. Mohon maaf, saya menyaksikan sendiri ada ibu guru yang merokok.
Shalat dhuhurnya dibekel ke rumah jam dua siang. Akan tegakah
kita menitipkan anak pada pengajar seperti itu?
Kini banyak bermunculan lembaga pendidikan
Islam, misal di level SD ada SD Islam. Namanya bisa berbeda-beda; SD Islam atau
SD Plus atau SDIT. Kehadiran SD-SD tersebut seperti mengindikasikan dua hal. Pertama, sebagai kritik
terhadap SD umum yang terkesan seadanya. Yang penting belajar, tidak lebih dari
itu. Kedua, idealitas agar
anak muslim mendapatkan pendidikan agama dan umum berkualitas.
Terus terang, saya sangat bergembira dengan
bermunculannya lembaga pendidikan Islam pada jenjang sekolah dasar atau SD.
Orangtua bisa mempercayakan pendidikan putra-putrinya pada sekolah yang islami.
Di SD Islam, anak-anak diajarkan akidah yang lurus, ibadah yang benar, dan
akhlak yang terpuji. Di samping itu, prestasi siswa di bidang pengetahuan umum
pun bisa bagus karena dibimbing oleh guru yang amanah dan profesional.
Ya paling pesan saya, antara satu lembaga pendidikan
Islam dengan lembaga pendidikan Islam lain jangan dirasakan sebagai musuh dan
kompetitor yang membahayakan, tapi lebih pada mitra. Ketika animo masyarakat
sangat besar menyekolahkan ke lembaga Islam, kan belum tentu bisa ditampung di satu
lembaga. Jadi, beruntung ada lembaga pendidikan Islam yang lain yang sama-sama
mendidik generasi muslim dengan pendidikan yang sama baiknya.[]
Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1. Direktur UPU
2. Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3. Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah
0 komentar:
Posting Komentar