Sabtu, 31 Desember 2016

Memupuk Sifat Malu

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebut seseorang yang sudah tidak memiliki rasa malu tak ubahnya ibarat seonggok daging dan darah yang tidak mempunyai kebaikan apapun. Betapa tidak, perasaan malu merupakan pagar dan benteng yang kokoh untuk melindungi seorang hamba dari berperilaku tidak senonoh dan seronok. Lalu kalau sudah tidak ada rasa malu, berarti ia tidak memiliki pagar dan benteng lagi, sehingga setiap keinginan dan bisikan hatinya dapat direalisasikan dengan sempurna tanpa ada yang dirisihkan.
Secara mutlak, seluruh kaum muslimin harus serius merawat dan memupuk rasa malu kepada Allah dalam setiap gerak langkahnya. Adapun senjata pertama untuk memupuk rasa malu adalah menumbuhkan sikap ihsan, yakni kesadaran jiwa bahwa Allah terus menerus melihat, mengawasi, dan mengetahui setiap aktifitasnya, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian.
Sikap ihsan inilah yang menyelamatkan Yusuf 'alaihissalam dari syahwat yang ditiupkan Iblis saat dipaksa oleh istri Al-Aziz melakukan perbuatan zina di rumah yang sunyi sepi. Saat itu istri Al-Aziz mengambil sehelai kain dan menggunakannya untuk menutupi patung yang terdapat di kamar karena ia merasa malu, maka Yusuf pun berkata, “Bagaimana engkau ini, engkau merasa malu oleh benda padat yang buta dan tuli. Tetapi mengapa engkau tidak merasa malu pada pengawasan Allah yang Maha Melihat?”
Senjata kedua untuk memupuk rasa malu adalah meninggalkan perbuatan maksiat. Hilangnya rasa malu dalam diri seseorang tidak terjadi secara spontan atau tiba-tiba, tetapi melalui tahapan dan proses yang bisa jadi memakan waktu sangat lama. Barangkali saat pertama kali seseorang melakukan suatu dosa, walaupun bukan terkategori dosa besar, tapi ia sangat malu, merasa tidak nyaman, dan ketakutan yang membuat keringat bercucuran. Namun bila perilaku dosa itu dikerjakan secara terus menerus dan berulang-ulang. Maka secara bertahap, pelan tapi pasti, ia akan mulai menikmati, merasa nyaman, dan menganggap wajar dosa tersebut.
Sudah saatnya kita berusaha sekuat tenaga bertaubat, mohon ampunan Allah, menjauhi dan mengubur dosa-dosa yang telah kita lalui. Bayar dan gantilah dengan amal-amal kebajikan di sini, di dunia ini. Memang, dibutuhkan kegigihan serta kesabaran. Bila kita mampu melewati aral melintang, niscaya sinar iman akan masuk menyelusup ke dalam ruangan kalbu, dan akhirnya para malaikat, manusia, dan makhluk-makhluk lainnya akan mengenalmu sebagai orang yang sangat malu kepada Allah. Mengutip sabda rasulullah dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim,Iman itu memiliki 70 cabang, dan malu itu merupakan cabang dari iman.” 

Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1.     Direktur UPU
2.    Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3.    Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah

0 komentar:

Posting Komentar