Ibnul Qayyim
Al-Jauziyyah menyebut seseorang yang sudah tidak memiliki rasa malu tak ubahnya
ibarat seonggok daging dan darah yang tidak mempunyai kebaikan apapun. Betapa
tidak, perasaan malu merupakan pagar dan benteng yang kokoh untuk melindungi
seorang hamba dari berperilaku tidak senonoh dan seronok. Lalu kalau sudah
tidak ada rasa malu, berarti ia tidak memiliki pagar dan benteng lagi, sehingga
setiap keinginan dan bisikan hatinya dapat direalisasikan dengan sempurna tanpa
ada yang dirisihkan.
Secara mutlak,
seluruh kaum muslimin harus serius merawat dan memupuk rasa malu kepada Allah
dalam setiap gerak langkahnya. Adapun senjata pertama untuk memupuk rasa malu adalah menumbuhkan sikap ihsan, yakni kesadaran jiwa bahwa
Allah terus menerus melihat, mengawasi, dan mengetahui setiap aktifitasnya,
baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian.
Sikap ihsan
inilah yang menyelamatkan Yusuf 'alaihissalam dari syahwat yang ditiupkan
Iblis saat dipaksa oleh istri Al-Aziz melakukan perbuatan zina di rumah yang
sunyi sepi. Saat itu istri Al-Aziz mengambil sehelai kain dan menggunakannya
untuk menutupi patung yang terdapat di kamar karena ia merasa malu, maka Yusuf
pun berkata, “Bagaimana engkau ini,
engkau merasa malu oleh benda padat yang buta dan tuli. Tetapi mengapa engkau
tidak merasa malu pada pengawasan Allah yang Maha Melihat?”
Senjata kedua
untuk memupuk rasa malu adalah meninggalkan perbuatan maksiat. Hilangnya rasa malu dalam diri
seseorang tidak terjadi secara spontan atau tiba-tiba, tetapi melalui tahapan
dan proses yang bisa jadi memakan waktu sangat lama. Barangkali saat pertama
kali seseorang melakukan suatu dosa, walaupun bukan terkategori dosa besar,
tapi ia sangat malu, merasa tidak nyaman, dan ketakutan yang membuat keringat
bercucuran. Namun bila perilaku dosa itu dikerjakan secara terus menerus dan
berulang-ulang. Maka secara bertahap, pelan tapi pasti, ia akan mulai
menikmati, merasa nyaman, dan menganggap wajar dosa tersebut.
Sudah
saatnya kita berusaha sekuat tenaga bertaubat, mohon ampunan Allah, menjauhi
dan mengubur dosa-dosa yang telah kita lalui. Bayar dan gantilah dengan
amal-amal kebajikan di sini, di dunia ini. Memang, dibutuhkan kegigihan serta
kesabaran. Bila kita mampu melewati aral melintang, niscaya sinar iman akan
masuk menyelusup ke dalam ruangan kalbu, dan akhirnya para malaikat, manusia,
dan makhluk-makhluk lainnya akan mengenalmu sebagai orang yang sangat malu
kepada Allah. Mengutip sabda rasulullah dalam
riwayat Al-Bukhari dan Muslim, “Iman itu
memiliki 70 cabang, dan malu itu merupakan cabang dari iman.”
Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1. Direktur UPU
2. Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3. Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah
0 komentar:
Posting Komentar