Sabtu, 31 Desember 2016

Bulan Ramadhan Ajang Perlombaan Meraih Takwa

Jika Allah Azza wa Jalla mengijinkan, untuk ke sekian kalinya kita akan berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan. Tentu, kita tidak ingin Ramadhan 1437 H ini berlalu begitu saja. Siapa yang berani jamin, kita bisa bersua kembali dengan Ramadhan berikutnya? Maka, jadikanlah Ramadhan kali ini sebagai ajang meraih kesuksesan. Bukan kesuksesan bisnis atau THR-an, tapi kesuksesan yang jauh lebih baik dari segala iming-iming dunia, yaitu sukses menggondol Gelar Muttaqin, sebuah gelar yang langsung disematkan oleh Allah Azza wa Jalla pada para hamba-Nya yang lulus mengikuti ujian Ramadhan.
Allah Azza wa Jalla menjanjikan,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu melaksanakan shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Perintah dan tujuan shaum Ramadhan disebut sekaligus dalam satu ayat. Fenomena ini jarang sekali ditemukan di dalam Al-Quran. Adapun ungkapan, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa,  memiliki makna pasti, manusia bertakwa jika benar-benar mengisi bulan Ramadhan dengan amal shaleh. Berbeda bila kalimat “mudah-mudahan” diungkapkan oleh manusia, hal itu hanya menunjukkan harapan dan keinginan saja.
Takwa merupakan puncak prestasi seorang hamba. Tidak ada prestasi lain yang mampu melebihinya. Takwa banyak sekali definisinya, salah satu pengertian takwa yang disebutkan oleh para ulama adalah, “Melaksanakan segala perintah Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan segala larangan-Nya.” (Imtitsaalu awaamirillah wajtinaabu nawaahih). Jadi, mudah saja mengukur sukses dan tidaknya kita meraih takwa melalui shaum Ramadhan, bila kita konsisten melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan karena Allah, insya Allah kita telah sukses.
Secara agak rinci, kita bisa menggunakan perkataan Ali bin Abi Thalib radhiyyallahu ‘anhu sebagai alat ukur. Kata beliau, orang yang bertakwa harus memiliki empat indikasi:
1. Merasa Takut pada Allah
Takut pada sesama manusia adalah bukti kelemahan dan ketidakberdayaan, namun takut oleh Allah merupakan sumber kekuatan dan keperkasaan. Yakni kekuatan untuk melaksanakan amal shaleh dan keperkasaan menghindarkan diri dari aneka bentuk dosa.
Di jaman Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang penggembala yang hanya takut pada Allah. Suatu ketika Abdullah bin Umar menemuinya untuk membeli seekor kambing. Penggembala itu menolak menjual kambing karena bukan miliknya, ia hanya dipercaya menggembalakan saja. “Juallah seekor, katakan pada majikanmu bahwa serigala telah memangsanya,” paksa Abdullah bin Umar. Si penggembala pun bangkit berdiri dan bertanya, “Kalau begitu Tuan, di mana Allah?”. Inilah ungkapan ketakutan seorang budak penggembala pada Rabb-nya. Hati Abdullah bin Umar sangat terkesan dengan kata-kata di atas. Ia pun lantas menemui majikan penggembala tersebut untuk memerdekakannya. Kemudian Abdullah bin Umar juga membeli beberapa ekor kambing untuk diberikan kepada sang penggembala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin, api neraka tak akan mau menyentuh manusia takwa yang takut pada Allah Azza wa Jalla,
عَيْنَانِ لاَ تَمَسَّهُمَا النَارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ (رواه الترمذى)
“Dua mata yang api neraka tidak akan menyentuhnya: mata yang menangis karena takut pada Allah dan mata yang bangun berjaga-jaga di jalan Allah.” (H.R. At-Tirmidzi).
2. Beramal Sesuai Petunjuk
Beramal itu memang penting, tetapi berusaha mempedomani Al-Quran dan As-Sunnah dalam beramal jauh lebih penting. Orang yang bertakwa tidak mau terjebak pada amal-amal yang tidak jelas landasan hukumnya, karena bisa menyeretnya pada perilaku bid’ah. Dengan bid’ah, amal mustahil berbuah pahala, malah berakibat munculnya dosa. Saking harus berhati-hati dalam beramal, Ibnu Mas’ud dan Abu Darda’ menegaskan, “Iqtishaad fii sunnah khaiir min ijtihaad fii bid’ah” (Sedikit tapi sesuai sunnah, itu lebih baik daripada banyak tapi bid’ah).
Penuturan dua sahabat ini bukan anjuran berhemat-hemat dalam beramal, melainkan keharusan menghindari bid’ah. Kalau memang amal yang banyak itu sudah jelas kesunnahannya, maka tidak ada alasan untuk mengirit beramal.
Allah akan menolak setiap aktivis ibadah yang tidak ada contohnya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه أحمد)
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.” (H.R. Ahmad).
3. Puas dengan Pemberian Allah yang Sedikit
Jika kita sudah meraih derajat takwa, secara otomatis akan memiliki sifat qana’ah. Qana’ah adalah sikap ridha, senang, dan puas atas pemberian Allah Azza wa Jalla walaupun nilainya sedikit. Di era materialistik seperti sekarang ini, sangat sulit menemukan manusia berjiwa qana’ah. Umumnya manusia, akan senang dengan banyaknya harta dan bermuram durja bila dilanda hidup serba susah.
Rahasianya ada pada sikap hati. Orang yang bertakwa sadar betul, kemegahan dunia bukanlah segala-galanya, kekayaan bukanlah sumber kebahagiaan, dan banyaknya uang bukanlah pertanda hidup akan selalu senang. Inilah yang membedakan orang yang bertakwa dengan umumnya manusia. Sepanjang kita masih menomorsatukan harta, maka akan sulit meraih qana’ah. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati,
وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللهُ لَكَ تَكُنْ أغْنَى النَّاسِ (رواه الترمذى)
“Dan bersikap ridha-lah atas apa yang Allah bagikan kepadamu, niscaya kamu menjadi manusia paling kaya.” (H.R. At-Tirmidzi).
“Wahai anakku,” Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menasehati anaknya, “jika kamu mencari harta kekayaan, maka carilah ia dengan qana’ah, karena qana’ah adalah harta yang tidak pernah habis. Singkirkan sifat rakus, karena rakus merupakan kemiskinan prematur. Dan hendaklah kamu pesimis dengan harta yang dimiliki orang lain. Dan tidaklah kamu pesimistis dari sesuatu, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mencukupkannya bagimu.”
4. Menyiapkan Bekal Menyongsong Kematian
Terakhir, orang yang bertakwa akan mengisi hidupnya dengan perilaku yang bermanfaat untuk akhiratnya kelak. Benak kaum bertakwa senantiasa diingatkan dengan kalimat, “Bukankah kematian itu pasti, dan akhirat juga pasti? Lalu mengapa engkau bersantai-santai menghabiskan usia? Bangkitlah, segeralah berbekal sebelum ajalmu tiba!”.
Inilah manusia cerdas yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ (رواه أحمد)
“Orang yang cerdas itu ialah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan menyiapkan amal shaleh untuk kehidupannya setelah mati.” (H.R. Ahmad).
Abdul Malik Al-Qashimi mengungkapkan permisalan yang tepat tentang perilaku berbeda yang dipraktikkan oleh orang bertakwa dan orang-orang kafir di dunia ini. Beliau menuturkan, “Perumpamaan orang yang bertakwa dan bertaubat setiap saat dengan orang yang menunda taubatnya, seperti sekelompok orang yang melakukan perjalanan memasuki sebuah desa. Orang bertakwa akan membeli apapun yang akan membantu mereka dalam perjalanan dan menunggu hari saat ia harus meninggalkan desa tersebut. Sementara si ceroboh akan mengatakan, ‘Aku akan bersiap-siap besok.’ Kemudian pemimpin rombongan mengumumkan waktu berangkat. Si ceroboh itu tidak memiliki bekal apapun untuk melanjutkan perjalanan.”
Jadi, singsingkanlah lengan baju, marilah kita berlomba meraih takwa!
Wallahul Muwaffiq.

Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1.     Direktur UPU
2.    Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3.    Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah

0 komentar:

Posting Komentar