Jika Allah Azza wa Jalla mengijinkan, untuk ke sekian
kalinya kita akan berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan. Tentu, kita tidak ingin
Ramadhan 1437 H ini berlalu begitu saja. Siapa yang berani jamin, kita bisa
bersua kembali dengan Ramadhan berikutnya? Maka, jadikanlah Ramadhan kali ini
sebagai ajang meraih kesuksesan. Bukan kesuksesan bisnis atau THR-an, tapi
kesuksesan yang jauh lebih baik dari segala iming-iming dunia, yaitu sukses
menggondol Gelar Muttaqin, sebuah gelar yang langsung disematkan oleh
Allah Azza wa Jalla pada para hamba-Nya yang lulus mengikuti ujian
Ramadhan.
Allah Azza wa Jalla menjanjikan,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu melaksanakan shaum
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu mudah-mudahan kamu menjadi
orang yang bertakwa.” (Q.S.
Al-Baqarah: 183).
Perintah dan tujuan shaum Ramadhan disebut sekaligus dalam
satu ayat. Fenomena ini jarang sekali ditemukan di dalam Al-Quran. Adapun
ungkapan, “… mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa,” memiliki makna pasti, manusia bertakwa jika benar-benar mengisi bulan
Ramadhan dengan amal shaleh. Berbeda bila kalimat “mudah-mudahan”
diungkapkan oleh manusia, hal itu hanya menunjukkan harapan dan keinginan saja.
Takwa merupakan puncak prestasi seorang hamba. Tidak ada
prestasi lain yang mampu melebihinya. Takwa banyak sekali definisinya, salah
satu pengertian takwa yang disebutkan oleh para ulama adalah, “Melaksanakan
segala perintah Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan segala larangan-Nya.”
(Imtitsaalu awaamirillah wajtinaabu nawaahih). Jadi, mudah saja mengukur
sukses dan tidaknya kita meraih takwa melalui shaum Ramadhan, bila kita
konsisten melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan karena Allah, insya
Allah kita telah sukses.
Secara agak rinci, kita bisa menggunakan perkataan Ali bin
Abi Thalib radhiyyallahu ‘anhu sebagai
alat ukur. Kata beliau, orang yang bertakwa harus memiliki empat indikasi:
1. Merasa Takut pada Allah
Takut pada sesama manusia adalah bukti kelemahan dan
ketidakberdayaan, namun takut oleh Allah merupakan sumber kekuatan dan
keperkasaan. Yakni kekuatan untuk melaksanakan amal shaleh dan keperkasaan
menghindarkan diri dari aneka bentuk dosa.
Di jaman Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang penggembala yang hanya takut
pada Allah. Suatu ketika Abdullah bin Umar menemuinya untuk membeli seekor
kambing. Penggembala itu menolak menjual kambing karena bukan miliknya, ia
hanya dipercaya menggembalakan saja. “Juallah
seekor, katakan pada majikanmu bahwa serigala telah memangsanya,” paksa Abdullah
bin Umar. Si penggembala pun bangkit berdiri dan bertanya, “Kalau begitu Tuan, di mana Allah?”. Inilah ungkapan ketakutan
seorang budak penggembala pada Rabb-nya. Hati Abdullah bin Umar sangat
terkesan dengan kata-kata di atas. Ia pun lantas menemui majikan penggembala
tersebut untuk memerdekakannya. Kemudian Abdullah bin Umar juga membeli
beberapa ekor kambing untuk diberikan kepada sang penggembala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjamin, api neraka tak akan mau menyentuh manusia takwa yang
takut pada Allah Azza wa Jalla,
عَيْنَانِ لاَ تَمَسَّهُمَا النَارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ
وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ (رواه الترمذى)
“Dua mata yang api
neraka tidak akan menyentuhnya: mata yang menangis karena takut pada Allah dan
mata yang bangun berjaga-jaga di jalan Allah.” (H.R. At-Tirmidzi).
2. Beramal Sesuai Petunjuk
Beramal itu memang penting, tetapi berusaha mempedomani
Al-Quran dan As-Sunnah dalam beramal jauh lebih penting. Orang yang bertakwa
tidak mau terjebak pada amal-amal yang tidak jelas landasan hukumnya, karena
bisa menyeretnya pada perilaku bid’ah. Dengan bid’ah, amal mustahil berbuah
pahala, malah berakibat munculnya dosa. Saking harus berhati-hati dalam
beramal, Ibnu Mas’ud dan Abu Darda’ menegaskan, “Iqtishaad fii sunnah khaiir
min ijtihaad fii bid’ah” (Sedikit tapi sesuai sunnah, itu lebih baik
daripada banyak tapi bid’ah).
Penuturan dua sahabat ini bukan anjuran berhemat-hemat dalam
beramal, melainkan keharusan menghindari bid’ah. Kalau memang amal yang banyak
itu sudah jelas kesunnahannya, maka tidak ada alasan untuk mengirit beramal.
Allah akan menolak setiap aktivis ibadah yang tidak ada
contohnya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه
أحمد)
“Barangsiapa
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.” (H.R. Ahmad).
3. Puas dengan Pemberian
Allah yang Sedikit
Jika kita sudah meraih derajat takwa, secara otomatis akan
memiliki sifat qana’ah. Qana’ah adalah sikap ridha, senang, dan puas atas
pemberian Allah Azza wa Jalla walaupun nilainya sedikit. Di era
materialistik seperti sekarang ini, sangat sulit menemukan manusia berjiwa
qana’ah. Umumnya manusia, akan senang dengan banyaknya harta dan bermuram durja
bila dilanda hidup serba susah.
Rahasianya ada pada sikap hati. Orang yang bertakwa sadar
betul, kemegahan dunia bukanlah segala-galanya, kekayaan bukanlah sumber
kebahagiaan, dan banyaknya uang bukanlah pertanda hidup akan selalu senang.
Inilah yang membedakan orang yang bertakwa dengan umumnya manusia. Sepanjang
kita masih menomorsatukan harta, maka akan sulit meraih qana’ah. Oleh karena
itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehati,
وَارْضَ
بِمَا قَسَمَ اللهُ لَكَ تَكُنْ أغْنَى النَّاسِ (رواه الترمذى)
“Dan bersikap
ridha-lah atas apa yang Allah bagikan kepadamu, niscaya kamu menjadi manusia
paling kaya.” (H.R. At-Tirmidzi).
“Wahai
anakku,” Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menasehati anaknya, “jika kamu mencari harta kekayaan, maka
carilah ia dengan qana’ah, karena qana’ah adalah harta yang tidak pernah habis.
Singkirkan sifat rakus, karena rakus merupakan kemiskinan prematur. Dan hendaklah
kamu pesimis dengan harta yang dimiliki orang lain. Dan tidaklah kamu
pesimistis dari sesuatu, melainkan Allah Azza
wa Jalla akan mencukupkannya bagimu.”
4. Menyiapkan Bekal
Menyongsong Kematian
Terakhir, orang yang bertakwa akan mengisi hidupnya dengan
perilaku yang bermanfaat untuk akhiratnya kelak. Benak kaum bertakwa senantiasa
diingatkan dengan kalimat, “Bukankah
kematian itu pasti, dan akhirat juga pasti? Lalu mengapa engkau
bersantai-santai menghabiskan usia? Bangkitlah, segeralah berbekal sebelum
ajalmu tiba!”.
Inilah manusia cerdas yang disebutkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
(رواه أحمد)
“Orang yang cerdas
itu ialah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan menyiapkan amal shaleh
untuk kehidupannya setelah mati.” (H.R. Ahmad).
Abdul Malik Al-Qashimi mengungkapkan permisalan yang tepat
tentang perilaku berbeda yang dipraktikkan oleh orang bertakwa dan orang-orang
kafir di dunia ini. Beliau menuturkan, “Perumpamaan
orang yang bertakwa dan bertaubat setiap saat dengan orang yang menunda
taubatnya, seperti sekelompok orang yang melakukan perjalanan memasuki sebuah
desa. Orang bertakwa akan membeli apapun yang akan membantu mereka dalam
perjalanan dan menunggu hari saat ia harus meninggalkan desa tersebut.
Sementara si ceroboh akan mengatakan, ‘Aku akan bersiap-siap besok.’ Kemudian
pemimpin rombongan mengumumkan waktu berangkat. Si ceroboh itu tidak memiliki
bekal apapun untuk melanjutkan perjalanan.”
Jadi, singsingkanlah
lengan baju, marilah kita berlomba meraih takwa!
Wallahul
Muwaffiq.
Penulis : RAMDAN PRIATNA, S.Sos.I
1. Direktur UPU
2. Kepala Sekolah SDIT BAHTERA NUH
3. Ketua Forum Komunikasi Aktivis Dakwah
0 komentar:
Posting Komentar